Siaran Pers
Nomor : 010 / SP-LBH-Papua / VII / 2024
TANGGAPAN ATAS VIDEO VIRAL PERDEBATAN ANTARA KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA DENGAN DIREKTUR LBH PAPUA YANG DISALAH ARTIKAN
Pada prinsipnya TANGGAPAN ATAS VIDEO VIRAL PERDEBATAN ANTARA KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA DENGAN DIREKTUR LBH PAPUA YANG DISALAH ARTIKAN OLEH PIHAK TERTENTU yang sengaja saya (Direktur LBH Papua) buat dengan maksud agar dapat memberikan pelajaran Hukum Kritis kepada Publik agar tidak terjebak dalam keterangan Video Viral yang dibuat dengan tujuan yang tidak jelas oleh pihak-pihak yang ingin menyesatkan pemahaman publik Papua tentang hukum yang berlaku di Indonesia.
Untuk diketahui bahwa perdebatan antara Direktur LBH Papua dengan Kabag OPS Polresta Jayapura dimulai ketika Direktur LBH Papua mempertanyakan dasar hukum rencana penggeledahan sebuah Rumah yang dijadikan tempat pembacaan Pernyataan Sikap oleh anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dilingkungan Expo waena kepada pihak kepolisian yang berada disekitar pertigaan masuk rumah tempat dilakukannya kegiatan tersebut. Rupanya pertanyaan itu, langsung ditanggapi oleh Kabag OPS Polresta Jayapura dengan jawaban “Setahu saya ini adalah asset pemerintah Propinsi Papua”. Mendengar jawaban tersebut, Direktur LBH Papua mengatakan bahwa berkaitan dengan tanah Aset Pemerintah Propinsi Papua ini masih dalam pembahasan dengan pemerintah dan sampai saat ini belum ada kesepakatan yang dihasilkan sehingga jika yang dipersoalkan adalah asset pemerintah daerah Propinsi maka kenapa tidak dibahas dengan Pemerintah. Jawaban Direktur LBH Papua tersebut langsung ditanggapi oleh Kabag OPS Polresta Jayapura dengan cara mendatangi Direktur LBH Papua dan langsung mendorong Direktur LBH Papua sambil Kabag OPS Polresta Jayapura berkata-kata dengan kalimat yang tidak jelas. Direktur LBH Papua kemudian menanggapi tindakan dorongan Kabag OPS Polresta Jayapura dengan jawaban Bapak tidak usa mengunakan pendekatan kekerasan (mendorong). Selanjutnya Kabag OPS Polresta Jayapura mengatakan saya tidak mengunakan kekerasan. Setelah itu, Kabag OPS Polresta Jayapura kembali mengatakan berbagai pernyataan sebagaimana terekam dalam video viral yang disebarkan oleh pihak tertentu.
Terkait semua pernyataan Kabag OPS Polresta Jayapura yang dilontarkan dalam video Viral sebenarnya sudah mau dijawab oleh Direktur LBH Papua saat perdebatan sebagaimana dalam Video Viral tersebut namun karna dalam pembahasan itu Kabag OPS Polresta Jayapura tidak memberikan ruang bicara kepada Direktur LBH Papua sehingga saya selaku Direktur LBH Papua akan jawab secara terperinci dalam siaran Pers ini.
Pertama BERKAITAN DENGAN JAWABAN KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA TERKAIT PERTANYAAN PENGGELEDAHAN YANG DIJAWAB DENGAN TANAH EXPO ADALAH ASET PEMERINTAH PROPINSI PAPUA SEHINGGA KABAG OPS KAPOLRESTA JAYAPURA DALAM MENJALANKAN TUGAS TIDAK PENTING UNTUK DITANYA.
Pada prinsipnya tindakan penggeledahan secara hukum diatur pada Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Untuk diketahui bahwa pengertian Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 17, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Secara teknis mekanisme atministrasi Penggeledahan Rumah dilakukan dengan cara sebagai berikut :
– Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (1), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
– Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (2), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
– Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (3), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
– Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (4), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
– Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan” sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (5), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dengan berdasarkan pada keterangan rencana pengeledahan sebuah Rumah yang dijadikan tempat pembacaan Pernyataan Sikap oleh Komite Nasional Papua Barat dilingkungan Expo waena yang adalah Aset Pemerintah Propinsi Papua diatas sewajibnya dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 17, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bukan dengan alasan tanah Expo adalah Aset Pemerintah Propinsi Papua sehingga pihak kepolisian dapat melakukan penggeledahan dengan mengabaikan mekanisme penggeledahan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebab alasan itu hanya akan menunjukan tindakan yang mencoreng nama baik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedua KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA MENGATAKAN BAHWA KNPB TIDAK TERDAFTAR DI KESBANGPOL ?.
Pada prinsip berkaitan dengan kebebasan berserikat dijamin dalam ketentuan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” sebagaimana diatur pada Pasal 28e ayat (3), Undang Undang Dasar 1945 dan ketentuan “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai” sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (1), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Atas dasar itu maka pernyataan KNPB terdaftar di Kesbangpol adalah pernyataan yang mengabaikan perintah Pasal 28e ayat (3), Undang Undang Dasar 1945 junto Pasal 24 ayat (1), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, apabila KNPB terdaftar di Kesbangpol maka mekanisme penanganannya sesuai dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan dimana dalam ketentuan tersebut menegaskan teknisnya sebagai berikut :
- Permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (1), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
- Permohonan pembubaran Ormas diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat domisili hukum Ormas dan panitera mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (2), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Permohonan harus disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (3), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum tidak dapat diterima sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (4), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Pengadilan negeri menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan pembubaran Ormas sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (5), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus sudah diterima secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (6), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Dalam sidang pemeriksaan, Ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (7), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Permohonan pembubaran Ormas harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat sebagaimana diatur pada Pasal 71 ayat (1), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Jangka waktu dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung sebagaimana diatur pada Pasal 71 ayat (2), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Putusan pembubaran Ormas harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana diatur pada Pasal 71 ayat (3), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Atas dasar itu maka pernyataan KNPB terdaftar di Kesbangpol semestinya dipertimbangkan kembali sebab kebebasan berserikan bagi KNPB dijamin pada Pasal 28e ayat (3), Undang Undang Dasar 1945 junto Pasal 24 ayat (1), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, apabila penyataan tersebut dilatar belakangi oleh Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan maka semestinya penegakannya sesuai mekanisme pada Pasal 70 dan Pasal 71, Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan bukannya dijadikan dalil pembenaran oleh Kepolisian untuk mempertanyakan legalitas sebuah oraganisasi seperi KNPB selanjutnya dilakukan tindakan semau kepolisian sebab perlu diketahui bahwa dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak ada Pasal atau Bab yang mengatur tentang Pidana yang dapat dijadikan dasar bagi aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan ataupun penggeledahan rumah sebagaimana yang dilakukan di Expo Waena Kota Jayapura.
Ketiga KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA MENGATAKAN KITA SAMA-SAMA ANAK PAPUA KETIKA ADA HAL SEPERTI INI KITA JANGAN LIHAT DARI SATU SISI SAJA. SAYA PUNYA RAMBUT KERITING SAMA DENGAN KOI.
Pada prinsipnya Kabag OPS Polresta Jayapura dan Direktur LBH Papua sama-sama orang Papua namun yang perlu dipahami adalah kewenangan kami yang berbeda dimana Kabag OPS Polresta Jayapura sebagai seorang Polisi memiliki Tugas pokok sebagai Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 13, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan Direktur LBH Papua sebagai Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1, Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Satu hal yang membedakan antara Kabag OPS Polresta Jayapura dengan Direktur LBH Papua adalah Kabag OPS Polresta Jayapura memiliki kewenangan Diskresi yang melekat pada Kabag OPS Polresta Jayapura karena jabatannya sebagai Kabag OPS Polresta Jayapura dan apabila Kabag OPS Polresta Jayapura mendapatkan tindakan kekerasan maka ada Pasal 212 KUHP yang akan melindungi Kabag OPS Polresta Jayapura sebagai seorang Polisi serta akan ada unsur penghapusan pidana karena ada ketentuan “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana” sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1) KUHP sedangkan Direktur LBH Papua sebagai Advokat hanya ada kekebalan hukum sesuai ketentuan Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan sebagaimana diatur pada Pasal 16, Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Dengan demikian maka sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa sekalipun Kabag OPS Polresta Jayapura dan Direktur LBH Papua sama-sama orang Papua berambut keriting namun ada perbedaan yang mencolok pada kewenangan serta perlindungan hukumnya dimana Kabag OPS Polresta Jayapura sebagai orang papua memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat dan berlapis sementara Direktur LBH Papua sebagai orang Papua memiliki perlindungan yang terbatas hanya pada hak impunitas. Atas dasar itu yang pasti kami bisa disamakan atas dasar Ras namun tidak dapat disamakan dalam konteks kewenangan dan perlindungan hukumnya.
Keempat, KABANG OPS POLRES JAYAPURA MENGATAKAN TINDAKAN YANG KAMI LAKUKAN TENTU TIDAK MENGINDARI HAM. TAPI TADI ADA HAL YANG SAYA SAMPAIKAN MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM, KEMUDIAN YANG KEDUA HAL INI DILAKUKAN TERUS MENERUS KEMARIN HARI INI, TENTU KAMI PINGIN TAHU ADA APA ORGANISASI YANG TIDAK TERDAFTAR DALAM KESBANGPOL PROPINSI PAPUA DE MELAKUKAN KEGIATAN TERUS MENERUS
Pada prinsipnya kegiatan tanggal 15 Agustus 2024 telah ada surat pemberitahuan yang diantarkan ke ruangan Dirintelkan Polda Papua dan Kasat Intelkam Polresta Jayapura pada tanggal 12 Agustus 2024 maka dengan demikian menunjukan bahwa kegiatan tanggal 15 Agustus 2024 telah memenuhi ketentuan Penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan secara tertulis disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok. Pemberitahuan selambatlambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Atas dasar itu maka pernyataan Kabag OPS Polresta Jayapura terkait dari kemarin sampai hari ini menjadi pertanyaan tersendiri karena pada tanggal 15 Agustus 2024 Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya tidak menjalankan perintah ketentuan Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana diatur pada Pasal 13 ayat (2), Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebab berdasarkan fakta dalam aksi Demostrasi Damai pada tanggal 15 Agustus 2024 Kabag OPS Polresta Jayapura membubarkan Aksi Demostrasi Damai di Perumnas 3 Waena, Expo Waena, Gapura Uncen Bawah dan Lingkaran Abepura. Atas dasar itu, menunjukan bukti bahwa Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya telah melakukan Tindak Pidana Demokrasi sebagaimana diatur dalam ketentuan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undangundang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Tindak pidana adalah kejahatan” sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Dengan melihat fakta tindakan Kabag OPS dan jajarannya pada tanggal 16 Agustus 2024 di rumah yang terletak dilingkungan Expo Waena terhadap Anggota KNPB yang melakukan pernyataan Sikap merayakan 4 Tahun tindakan Rasisme yang tidak mengganggu warga penghuni perumahan dilingkungan Expo Waena serta tindak mengganggu warga penguna jalan raya Abepura Sentani secara langsung mempertanyakan tindakan Kabag OPS Polresta Jayapura yang telah mempraktekan Penindahakan Huru Hara yang tidak sesuai dengan ketentuan Penindahakan Huru Hara yaitu : a. legalitas yaitu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, b. proporsional yaitu sesuai dengan kadar ancaman yang dihadapi, c. prosedur yaitu sesuai dengan mekanisme, tata cara, kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku, d. nesesitas yaitu sesuai kebutuan berdasarkan pertimbangan cermat dan layak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi di lapangan, e. keterpaduan yaitu bersinergi dengan segenap unsur atau komponen yang dilibatkan dalam penindakan sebagaimana diatur pada Pasal 2, Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara yang menunjukan fakta Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya telah melanggar ketentuan dalam melaksanakan tugas pemeliharaan kamtibmas setiap anggota Polri dilarang : a. perilaku arogan, sewenang-wenang atau menyakiti hati rakyat sehingga menimbulkan anti pati atau merugikan rakyat, b. melakukan tindakan secara diskriminatif, f. melakukan rasia atau operasi kepolisian secara liar atau tanpa dilengkap dengan surat perintah dinas atau izin dari atas berwenang dan i. melakukan tindakan kepolisian yang sangat berlebihan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat ataupun bagi polri sebagaimana diatur pada Pasal 40 huruf a, huruf b, huruf f dan huruf I, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Repuplik Indonesia.
Sementara berkaitan dengan perihal organisasi yang tidak terdaftar dalam kesbangpol telah dijelaskan panjang lebar pada bagian kedua tentang KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA MENGATAKAN BAHWA KNPB TERDAFTAR DI KESBANGPOL ? diatas sehingga tidak perlu diulangi bahas dalam jawaban atas pernyataan keempat ini.
Kelima, KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA MENGATAKAN KO PEMBELA HAM SAYA ANGGOTA POLISI TAPI KITA BERBICARA SESUAI ATURAN. JADI KALAU HARI INI SAYA DATANG KE KNPB PUNYA TEMPAT DISINI BUKAN SAYA MELAKUKAN TINDAK KEKERASAN ITU SESUAI DENGAN TUPOKSI SAYA SEBAGAI ANGGOTA KEPOLISIAN. KALAU KEMUDIAN ADA PEMUKULAN, KALAU KEMUDIAN ADA TINDAKAN KEKERASAN. ANDA SEBAGAI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA SILAHKAN TEMPUH JALURNYA.
Pada prinsipnya tindakan penangkapan Omison Balingga dan Sadrat Lagoan yang dilakukan oleh Kabag OPS Polresta Jayapura dan jajarannya dilingkungan Expo dilakukan tanpa ada kesalahan yang dilakukan oleh keduannya dan dilakukan tanpa mengikuti mekanisme penangkapan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
– Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur pada Pasal 17, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
– Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
– Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (2), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dengan melihat fakta penagkapan Omison Balingga dan Sadrat Lagoan yang dilakukan tidak sesuai dengan Pasal 17 dan Pasal 18, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka secara langsung menunjukan bukti bahwa penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang dan tentunya melanggar Pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Kepolisan.
Selain itu, melalui fakta Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya yang mendatangi lingkungan Expo Waena dengan jumlahnya yang sangat banyak lengkap dengan Pasukan Anti Huru Hara diatas kenyataanya anggota KNPB hanya melakukan efaluasi serta pernyataan sikap perayaan 4 Tahun hari anti Rasisme dilingkungan Rumah di Expo Waena yang tidak mengganggu aktifitas keluarga lainnya yang mendiami rumah lainnya dilingkungan Expo Waena serta tidak menggangu aktifitas angkutan umum yang berlalu lalang di jalan umum Abepura Sentani didepan Expo Waena tentunya menunjukan bukti pelanggaran prinsip “Penindahakan Huru Hara yaitu : a. legalitas yaitu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, b. proporsional yaitu sesuai dengan kadar ancaman yang dihadapi, c. prosedur yaitu sesuai dengan mekanisme, tata cara, kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku, d. nesesitas yaitu sesuai kebutuan berdasarkan pertimbangan cermat dan layak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi di lapangan, e. keterpaduan yaitu bersinergi dengan segenap unsur atau komponen yang dilibatkan dalam penindakan” sebagaimana diatur pada Pasal 2, Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara.
Melalui dalil Kabag OPS Polresta Jayapura terkait Tanah Expo sebagai Aset Pemerintah Propinsi Papua sehingga Kabag OPS Polresta Jayapura dan jajarannya bebas melakukan Penggeledahan terhadap rumah yang dijadikan tempat perayaan 4 Tahun hari anti Rasisme oleh anggota KNPB tanpa mengikuti mekanisme Penggeledahan sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 17, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukan fakta tindakan Diskriminatif sebab bukan hanya Anggota KNPB yang menempati bangunan yang ada di Expo Waena namun mengapa Kabag OPS Polresta Jayapura beserta jajarannya tidak melakukan penggeledahan di rumah lainnya dilingkungan Expo Waena Kota Jayapura jika alasanya adalah Tanah Expo sebagai Aset Pemerintah Propinsi sehingga Kabag OPS Polresta Jayapura dan jajarannya bebas melakukan Tupoksi. Melalui fakta adanya tindakan Diskriminasi dalam tindakan atas dalil asset pemerintah propinsi Papua menunjukan bukti bahwa Kabag OPS Polresta Jayapura melakukan tindakan pelanggaran ketentuan “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (3), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dari berbagai fakta diatas menunjukan bukti bahwa Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya telah melakukan beberapa pelanggaran hukum baik penagkapan Omison Balingga dan Sadrat Lagoan yang dilakukan tidak sesuai dengan Pasal 17 dan Pasal 18, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka secara langsung menunjukan bukti bahwa penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang dan tentunya melanggar Pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Kepolisan, Pelanggaran Pasal 2, Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara dan pelanggaran ketentuan “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (3), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah membuktikan bahwa Kabag OPS Polresta Jayapura bersama jajarannya melakukan tindakan yang tidak sesuai Tugas pokok sebagai Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya menegakkan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 13 huruf b, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Atas dasar itu, sesuai dengan pernyataan Kabag OPS Polresta Jayapura kepada Direktur LBH Papua terkait anda sebagai pembela hak asasi manusia silahkan tempuh jalurnya maka semua pelanggaran tersebut diatas dapat ditempuh oleh Direktur LBH Papua baik mengunakan mekanisme Praperadilan, mekanisme Propam dan mekanisme Komnas HAM.
Keenam, ETIKA BERNEGOSIASI KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA DALAM VIDEO VIRAL YANG TIDAK PROFESIONAL
Pada prinsipnya sejak awal saat memuali berdebat dengan Kabag OPS Polresta Jayapura Direktur LBH Papua langsung didorong oleh Kabag OPS Polresta Jayapura. Selanjutnya ketika Direktur LBH Papua menjawab pernyataan pertanyaan Kabag OPS Polresta Jayapura justru Kabag OPS Polresta Jayapura mengelurkan kalimat yang mendesak Direktur LBH Papua untuk diam dan mendengarkan penjelasan Kabag OPS Polresta Jayapura sehingga tidak menunjukan ruang berdebat atupun bernegosiasi namun menunjukan situasi indimidatif. Fakta ini menunjukan bukti bahwa sepertinya dilingkungan Institusi Polresta Jayapura jarang dipraktekan ketentuan Setiap Pejabat Polri harus senantiasa mengembangkan dan meningkatkan pelatihan-pelatihan kepada anggotanya terutama mengenai taktik-taktik komunikasi, negosiasi, perlindungan, pengayoman, pengamanan, penertiban dan pelayanan masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 39 ayat (3), Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Repuplik Indonesia.
Berdasarkan keenam uraian terkait tanggapan atas penyataan Kabag OPS Polresta Jayapura diatas semoga dapat menjelaskan fakta objektif terkait VIDEO VIRAL PERDEBATAN ANTARA KABAG OPS POLRESTA JAYAPURA DENGAN DIREKTUR LBH PAPUA YANG DISALAH ARTIKAN dan sebarkan dibeberapa grub social media. Selain itu, melalui tanggapan ini juga dapat memberikan kejelasan sekaligus pendidikan hukum dari berbagai pernyataan yang sebenarnya bertentangan secara hukum yang berlaku di Indonesia dan terkesan berusaha menyembunyikan fakta pelanggaran hukum yang terjadi baik pada tanggal 15 Agustus 2024 dan 16 Agustus 2024 yang dilakukan secara sistematik dan structural di wilayah Hukum Polresta Jayapura.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 17 Agustus 2024
Hormat Kami
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
EMANUEL GOBAY, S.H.,MH
(Direktur)